“Sekolah itu milik kita, sekolah yang tak dapat kita beli,
Sekolah itu milik semua, sekolah yang tak harus kita beli,
Beli – beli, pendidikan ini harus kita beli,
Mendidik – mendidik, sebenarnya siapa yang harus mereka didik??
Yang punya uang, yang punya harta”
-Wethepeople! “sekolah yang tak terbeli”- Adalah sederetan kalimat di atas yang merupakan penggalan lirik lagu dari band beraliran Positive
Hardcore punk asal bandung yang bernama Wethepeople! yang menginspirasi saya dalam menentukan
tema dari tulisan ini. Masalah pendidikan, memang ini menjadi bukti dari salah satu masalah krusial yang
terjadi di negeri kita, Indonesia. Terlebih lagi jika kita harus mengaitkan hal yang mulia ini (baca :
pendidikan) dengan masalah “korupsi” yang seakan tidak mau berhenti menghantui negeri kita. Ini
semakin memperpanjang daftar “ketidakmampuan” pemerintah pusat dalam hal memberikan kesejahteraan dan juga pendidikan yang layak bagi rakyatnya sendiri. Menyedihkan jika kita harus mulai membicarakan kedua hal
tersebut (Pendidikan dan Korupsi) menjadi satu kesatuan, mau dibawa ke mana moral bangsa ini jika
pendidikan yang sifatnya menentukan masa depan bangsa harus dikotori oleh praktek-praktek terselubung
oknum pejabat berwenang.
Menurut sumber berita dari situs VOA Indonesia di kolom berita pendidikan yang diterbitkan pada hari
Rabu, 8 Februari 2012 lalu menyebutkan bahwa ICW (Indonesia Corruption Watch) menyatakan, sektor “Pendidikan” adalah sektor yang banyak dikorupsi. Mengapa demikian? Menurut penuturan dari Koordinator
Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri, kepada VOA, menyebutkan bahwa sektor pendidikan
merupakan pos anggaran yang menjadi sasaran empuk bagi para koruptor dalam melancarkan aksinya,
hasil pemantauan ICW menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011 lalu, dari 436 kasus yang ditangani
aparat penegak hukum, sekitar 12 persen atau sebanyak 54 kasus terjadi pada sektor pendidikan. Sisanya
terjadi di sektor keuangan daerah, sosial kemasyarakatan dan transportasi serta sektor lainnya, sudah barang tentu ini menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh kita, dan juga Pemerintah pusat.
Hal yang cukup memberi saya perhatian adalah bahwa Korupsi sektor pendidikan ini, kata Febri banyak
dilakukan oleh anggota “Dewan Perwakilan Rakyat”, “Pemerintah Daerah” hingga pejabat yang berada di
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan” itu sendiri. Miris, agaknya itu kata yang tepat untuk
menggambarkan situasi yang terjadi di dalam struktur pemerintahan bangsa ini. Bagaimana bisa para
oknum “Petinggi Negara yang Terhormat” melakukan hal tersebut, terlebih lagi oknum “Anggota DPR”. Belum cukup masalah internal dalam DPR sendiri soal banggar (badan anggaran) DPR yang menyita
perhatian, kini rakyat kembali dikejutkan dengan pemberitaan semacam ini. Agaknya ragu untuk kembali
menuliskan kalimat “Anggota DPR yang TERHORMAT” di dalam tulisan ini jika harus menerima perlakuan
yang mereka (oknum anggota DPR) lakukan kepada bangsa ini. Terlebih lagi jika itu terjadi di sektor
pendidikan. Adalah hal yang saling terkait satu sama lain jika kita harus mulai menarik suatu garis antara
kualitas pendidikan, kualitas moral, serta masa depan bangsa ini. Kembali merujuk kepada pemberitaan VOA, mereka (oknum pemerintahan) menurut Febri, dengan leluasa
menyalahgunakan anggaran pendidikan seperti dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Dana Alokasi
Khusus, dan dana pendidikan lainnya. Dia mendesak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan harus segera membangun sistem anti korupsi. “Sistem anti korupsi ini harus terintegrasi dalam
sistem perencanaan dan penganggaran dan juga sistem pengelolaan keuangan dalam pengelolaan anggaran
pendidikan. Sistem anti korupsi dalam perencanaan itu bisa diatasi dengan melibatkan masyarakat atau membuka akses seluas - luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan
pendidikan. Namun, yang terjadi selama ini adalah hal tersebut tertutup,” papar Febri Hendri. Lebih lanjut
kepada VOA, Febri juga menyebutkan bahwa penyebab dari meningkatnya korupsi di sektor pendidikan ini
adalah adanya peningkatan anggaran pendidikan yang cukup besar, sebagai contoh, di tahun 2011 saja
pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp. 248 triliun untuk sektor pendidikan, jumlah ini memiliki
peningkatan yang signifikan dibanding dengan tahun 2005 yang anggaran pendidikannya hanya sebesar Rp 33,4 triliun. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, namun sayangnya jumlah dana yang sedemikian
besarnya tidak dibarengi dengan fasilitas dan juga kualitas pendidikan di Indonesia yang baik, yang terjadi
malah hal sebaliknya. Sebagai contoh nyata, menurut pengamat pendidikan dari Sekolah Taman Siswa
Darmaningtyas, menyatakan bahwa ribuan sekolah yang dalam kondisi tidak layak pakai bahkan rusak
parah adalah merupakan bukti kuat adanya “ketidakberesan” dalam pengelolaan anggaran pendidikan
yang sebenarnya tidak kecil. Menurutnya yang menyebabkan sektor pendidikan sangat rentan terhadap korupsi adalah karena banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana pendidikan. Sependapat
dengan pernyataan dari Darmaningtyas dalam penuturannya kepada VOA bahwa “Jika kita ingin
mengurangi tingkat korupsi mestinya kontak antar manusia (dalam hal ini pejabat berwenang) juga bisa
kita persempit lagi. Misalnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bisa disalurkan pemerintah pusat
langsung ke sekolah-sekolah.” Namun, yang terjadi adalah dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat
terlalu banyak berputar-putar di lingkungan pemerintahan itu sendiri (dalam hal ini pemerintah daerah) sehingga langkah ini amatlah tidak efisien, ini menyebabkan kemungkinan terjadinya korupsi di sektor
pendidikan menjadi besar. Lagi-lagi ini merupakan bukti dari buruknya kinerja pemerintah dalam hal
sistem alokasi dana pendidikan bagi rakyatnya.
Berangkat dari pemberitaan tersebut pastilah timbul berbagai macam spekulasi dan juga pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut, apakah masih pantas jika dengan jumlah anggaran
sebanyak Rp 248 triliun kita masih saja menemukan sekolah-sekolah yang tidak layak untuk kita sebut sebagai “tempat menimba ilmu?” Pada kenyataanya masih saja banyak ditemukan bangunan sekolah yang
rusak, bahkan tidak memiliki atap di bagian atas kelasnya. Kabar buruknya bahkan kandang hewan
peliharaan saja memiliki atap. Apakah masih pantas jika rakyat miskin (dalam berbagai kriteria/
penggolongan kemiskinan menurut BPS) yang pada September tahun 2011 lalu jumlahnya kurang lebih
sekitar 29,89 juta jiwa tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak hanya karena harus dihadapkan
kepada suatu realita tentang biaya pendidikan di negeri ini yang melambung tinggi yang bahkan mungkin bersaing dengan tingginya harga bahan bakar. Masihkah ini dibilang “wajar” jika dengan jumlah anggaran
sebesar Rp. 248 triliun, pemerintah masih belum bisa menyediakan sarana maupun infrastruktur yang
mendukung bagi para siswa? Bahkan untuk akses menuju sekolah, para siswa masih saja mengalami
kesulitan, seperti berita yang baru-baru ini diliput oleh berbagai media asing maupun lokal soal perjuangan
para siswa di Desa Sangiang tanjung, Lebak, Banten, yang harus rela mempertaruhkan nyawanya demi
mendapatkan pendidikan dengan cara meniti bentangan tali (kawat) yang masih tersisa di jembatan yang rusak karena banjir. Amatlah tidak masuk akal jika dengan anggaran dana pendidikan yang dikucurkan
pemerintah pusat sebesar Rp 248 triliun belum lagi pastilah Pemda mendapatkan APBD (Anggaran
Pembangunan Daerah) yang jumlahnya tentu tidak sedikit, namun tetap tidak mampu membangun sarana
pendukung bagi masyarakat di daerahnya agar mereka dapat lebih mudah dalam hal memperoleh haknya
(baca : pendidikan). Lalu apa kabar dengan para elit politik kita yang katanya “Terhormat” (baca : DPR) di
gedung bundar sana? Tentunya sangatlah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh para siswa yang bangunan sekolahnya tidak layak. Bagaimana tidak, mereka para anggota DPR duduk di kursi yang katanya
dikabarkan harganya hampir mencapai Rp 20 juta/unit, sedangkan para penerus bangsa ini (baca : siswa)
hanya duduk beralaskan tikar di bawah terik matahari karena mereka tidak bisa belajar di kelas yang
bangunannya akan roboh karena tak kunjung mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tentunya ada
semacam hal yang tidak masuk akal di sini, jika kita harus berkaca dari hal di atas pasti ada suatu hal
seperti korupsi, penyelewengan, pemotongan dana atau apapun sebutannya yang mencerminkan sebagai suatu tindakan yang hanya menguntungkan atau memperkaya segelintir individu maupun golongan yang
dilakukan oleh oknum pejabat berwenang di sektor pendidikan.
Idealnya pendidikan adalah sebuah hal yang seharusnya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di
negeri ini, pendidikan adalah hal sederhana yang seharusnya di dalamnya tidak ditunggangi para korporat
kapitalis yang menggunakan sektor pendidikan sebagai alat untuk memperkaya diri. Akan lebih baik jika
semua lapisan masyarakat turut serta dalam hal menanggulangi adanya korupsi disektor pendidikan, sehingga nantinya diharapkan agar kualitas, sarana dan juga prasarana pendidikan di Indonesia bisa lebih
baik dari sekarang, juga disertai dengan sistem pengajaran yang baik pula tentunya. Semoga pendidikan di
Indonesia tidak lagi menjadi barang yang mewah, yang hanya segelintir orang yang dapat menikmatinya.
(PK dikutip dari VOA dan beberapa sumber yang relevan) Sumber utama :
VOA (ICW : Sektor Pendidikan Paling Banyak Dikorupsi, Rabu, 08 Februari 2012)