Saturday, 23 February 2013
Pada
abad XIV daerah ini bernama Tresna yang merupakan pintu keluar masuknya
para ki gedeng seperti Ki Gedeng Palimanan dan Ki Gedeng Pasawahan yang
hendak berburu rusa dan menikmati pemandangan pegunungan. Oleh karena
daerahnya sering dilewati pemburu, Ki Buyut Tresna dikenal dengan nama
Ki Paderesan.
Ki
Gedeng Pasawahan alias Ki Makeru di samping senang berburu, ia kerap
kali memusuhi Mbah Kuwu Sangkan di mana keduanya sama kuat, baik ketika
bertempur di atas gunung maupun bertarung di atas air. Ki Makeru tidak
segan-segan melakukan tipu daya dengan cara yang licik, dan secara
tiba-tiba memukul dari belakang, sehingga Mbah Kuwu dengan ketinggian
ilmunya semula terkesan tidak sungguh-sungguh melayani setiap
pertarungan.
Ki
Makeru terkenal sakti mandraguna. Ia memiliki berbagai ilmu hitam
seperti ilmu meringankan tubuh, masuk lubang kecil, ilmu mencala putra
mencala putri untuk menipu jalasutra, sehingga ia selalu menginginkan
pertarungan dilakukan di atas gunung atau di atas air. Mbah Kuwu
akhirnya meladeni setiap keinginan Kimakeru, dimana dengan kepandaian
ilmunya beliau mengetahui kelemahan musuhnya, apalagi pengikut Kimakeru
sebagian besar telah ditundukannya. Segala cara yang di tempuk Ki Makeru
dengan mudah dipatahkan beliau. Meskipun bukan tandingan Mbah Kuwu, Ki
Makeru tetap tidak mau tunduk bahkan oleh kerena merasa dipermalukan ia
menghilang, tidak mau masuk agam islam.
Setelah
melakukan pertempuran, Mbah kuwu bermaksud meninggalkan Pasawahan untuk
beristirahat sambil menikmati air pohon enau (lahang) kesukaannya di
Panderesan. Sangat disayangkan air lahang kesayangannya tidak tersedia
sehingga Mbah Kuwu kecewa dan berkata kepada Ki Panderesan, apabila
hendak menyadap aren bacakan syahadat tiga kali.
Sekembalinya
Mbah Kuwu ke cirebon, Ki Panderesan segera membuat lodong dari bambu
untuk menyadap aren. Sebagaimana dipesankan Mbah Kuwu, Ketika akan
memasang lodong Ki Panderean tidak lupa membaca syahadat tiga kali.
Sungguh ajaib ketika lodong diturunkan esok harinya, ternyata lodong itu
tidak berisi air lahang melainkan mas dan intan.
Ki
Panderesan sangat gembira dan berbahagia. Ia bernadar ingin makan
bersama Mbah Kuwu serta pengikutnya yang akan singgah kembali di
Panderesan. Untuk menghormati tamunya itu, Ki Panderesan menyediakan
berbagai hidangan, hingga tanpa disadari ayam yang sedang mengerampun ia
potong. Ketika Mbah Kuwu menikmati hidangan itu, beliau tersenyum
dengan hati yang tak tega oleh karena panggang ayam yang dihidangkan itu
berasal dari induk ayam yang sedang mengeram. Tak lama kemudian
panggang ayam itu berubah, hidup kembali seperti semula.
Ketika
akan kembali ke Cirebon, Mbah Kuwu mengajak Ki Panderesan pergi ke
Cirebon. Ketika ditanyakan kepada Mbah Kuwu apakah hewan-hewan
peliharaan seperti ayam, bebek, kambing dan lainnya perlu dibawa ke
Cierbon? Mbah Kuwu Sangkan Mengatakan tidak perlu. “Lihat saja nanti apa
yang akan terjadi”, pintanya. Dan tak lama kemudian semua hewan berubah
menjadi ular. Oleh karena itu, daerah ini terkenal dengan ular-ularnya
yang besar. Dalam perjalanan ke Cirebon, Pusaka cis milik Mbah Kuwu
terjatuh ke sungai. Parapengikut Mbah Kuwu segera menambak sungai dengan
pasir atau keusik. Setelah itu airnya ditimba atau di parak
berammai-ramai hingga kering atau saat, akan tetapi yang ditemukan hanya
kerangkanya saja. Sungai tempat terjatuhnya cis Mbah Kuwu itu dikenal
dengan nama Parakan Keusik, dan daerah sekitarnya di sebut Cisaat hingga sekarang.
Ki Buyut Cisaat yang diketahui di antaranya:
1. Kasep Sabale.
2. Narum.
3. Mangku Jaya.
4. Mangku Raga.
5. Sela merta.
6. Tuan.
7. Irodat.
8. Merta Gati.
9. Nursimah.
10. Udin.
11. Surangga Bima.
12. Pabunan.
13.Nampa.
14. Sarif.
15. Kembar.
16. Kesem.
17. Katijem.
18.Lulut.
19. Leuleut.
20. Kenanga.
21. Kenangi.
Kuwu Cisaat:
1. Sukini : 1987 - 1992
2. Supadi, SH : 1992 - 1997
3. Drs.Suradi : 1997 - 2002
4. Sudana : 2002 – sekarang ##