Saturday, 20 October 2012
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September
1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie
sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober
1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama
pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang
dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di
Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi
bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam
waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan
Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al
Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970. Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi
kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan
Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif
dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan
sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin
luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,
sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren
Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab
Al Hikam. Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan
Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan
misiologi. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima
setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga
memilih pindah dari Jombang ke Jakarta. Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif
1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam
termasuk NU. Reformasi NU NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya
mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak
konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan
mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk
menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih
menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada
masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia
menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan
bekerja di bawahnya. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan
dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam
pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah,
diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan
berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989.
Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati
Muslim. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati
intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap
sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat. Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri
dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun
NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU. Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota
NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan
menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali
ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap
anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode
berikutnya. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan
Soeharto. Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus
membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan
pemerintah, Soerjadi. Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus
Dur sebagai ketua NU. Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah. Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu.
Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena
stroke pada Januari 1998. Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang
memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak
bergabung dengan Komite Reformasi. Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat
Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden
Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto. Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998,
komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-
satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial
serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi
dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur. Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-
pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme
dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh
pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian
menjatuhkannya. Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Soekarnoputri. Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden.
Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai
kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto
dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla
dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput. Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto,
Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM. Kehidupan pribadi Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada,
Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang
dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia
sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Penghargaan Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk
kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng
Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi
di Indonesia. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di
bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid
dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga
pendidikan, yaitu: - Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003) - Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) - Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003) - Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) - Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000) - Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000) - Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu
Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000) - Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000) - Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000) - Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)