Saturday, 20 October 2012
Untuk mengamankan daerah Pagedangan dari orang-orang yang tidak mau masuk islam . Ki Bledug Jaya meminta dikirim prajurit tangguh dari Caruban Larang untuk melatih para pemuda dan orang- orang dewasa penduduk Pagedangan. Setelah bantuan pasukan datang, mereka melatih penduduk Pagedangan disuatu tempat, sehingga tempat itu menjadi berdebu (ledug – Bhs Jawa), sampai-sampai air ( Cai – Bhs Sunda) yang akan digunakan untuk mandi, mencuci dan minum bercampur ledug ( debu ). Akhirnya tempat latihan itu terkenal dengan sebutan Ciledug hingga sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan Keraton Cerbon, Ki Bledug Jaya diperintahkan oleh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) agar berdiam di Keraton Caruban Larang, tetapi pada hari Senin dan Kamis Ki Bledug Jaya diperkenankan untuk melihat daerahnya. (Orang-orang masih percaya bahwa samapi sekarang KiBledug Jaya pada hari Senin dan kamis berada di Ciledug. Pada hari senin dan Kamis berada di Ciledug. Pada hari Senin dan Kamis banyak orang datang berziarah ke tempat tersebut).
Pada abad ke-15, daerah Pagedangan termasuk Wilayah Kerajaan Galuh yang menguasai daerah Jawa barat sampai batas Cipamali (sungai ini sekarang menjadi batas antara Propinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah). Agama yang dianut oleh masyarakat ketika itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha pengaruh dari luar daerah. Pada saat itu, di Cirebon telah berkembang agama Islam yang dikembangkan oleh Pangeran Walangsungsang ( Mbah Kuwu Cerbon ), putra prabu siliwangi penguasa kerajaan galuh/pajajaran. Dalam rangka mengembangkan / mensiarkan agama islam. P. Walangsungsang dibantu oleh putra Nyai Rarasantang adiknya yang bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Dengan adanya Pangeran Walangsungsang menyebarkan agama Islam, maka wilayah Kerajaan Galuh/ Pajajaran diliputi rasa kekhawatiran. Para sesepuh Galuh yang beragama Sanghiang merasa kehilangan
wibawa dan kepercayaan dari masyarakatnya, antara lain Ki Arya Kidang Layaran yang juga sedang kecewa karena salah seorang anaknya yang bernama Raden Layang Kemuning mengundurkan diri sebagai pepatih Kerajaan Galuh, meninggalkan segala kebesaran dan pergi mengembara tanpa pamit, sedangkan tempat tujuannya pun tidak diketahui rimbanya. Untuk mencarinya Ki Arya Kidang Layaran mengutus Nyi Ratu Layang Sari adik Layang Kemuning. Dalam pengembaraannya, Raden layang Kemuning menetap dan berdiam menyendiri disuatu tempat di tepi Sungai Cisanggarung. Ia menyamar sebagai tukang nyarah (mengambil kayu yang hanyut disungai) dan berganti nama dengan nama Ki Malewang. Pada suatu hari, langit mendung, halilintar bergelegar dan turunlah hujan yang sangat deras bagai ditumpahkan dari langit . Akibat hujan lebat Sungai Cisanggarung banjir mendadak. Airnya bergemuruh dan bergulung-gulung menghanyutkan segala yang menghalangi, termasuk tubuh Ki Malewang yang sedang nyarah ikut terhanyut. Dalam keadaan pingsan ia terdampar di daerah Pagedangan. Tiada selembar kainpun yang melekat ditubuhnya, karena waktu nyarah pakaiannya diletakan ditepi sungai. (Tempat terdamparnya Ki Malewang sekarang bernama Pelabuhan)
Ratu Layang Sari yang diutus ayahandanya untuk mencari kakaknya yang bernama Raden Layang Kemuning belum dapat menemukannya. Akhirnya sampailah ia ditempat Ki Malewang terdampar. Melihat ada tubuh seorang laki-laki yang tergeletak ditepi sungai dalam keadaan tanpa busana, maka keinginannya untuk menolong diurungkan, tetapi ia melemparkan selendangnya untuk menutupi tubuh yang tergeletak itu. Lalu ia meninggalkan tempat itu dengan tidak mengira bahwa yang tergeletak adalah tubuh kakaknya yang selama ini ia cari. Setelah Ki Malewang sadar dari pingsannya, bukan main terkejutnya berada ditempat itu dalam keadaan telanjang , hanya tertutup selembar selendang. Iapun bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang telah menutupi badannya dengan selendang itu. Di Pagedangan itu Ki Malewang membuat gubuk untuk tempat tinggal. Dan pepohonan disekitarnya ditebang untuk dijadikan lahan pertanian. Daerah ditepi sungai Cisanggarung tempat kediaman Ki Malewang itu sangat subur, sehingga orang-orang berdatangan ke tempat itu, dan lama kelamaan ramailah daerah Pagedangan karena banyak penghuninya. Beberapa tahun kemudian, datanglah enam orang utusan dari Kerajaan Galuh setelah mendengar keberadaan Raden Layang Kemuning di Pagedangan dengan maksud agar Raden Layang Kemuning mau kembali ke Kerajaan Galuh. Tetapi Raden layang Kemuning ( Ki Malewang ) menolak, bahkan keenam orang utusan itupun ingin menetap di Pagedangan dengan tujuan mengabdi kapada Raden Layang Kemuning mengembangkan pedukuhan. Keenam orang tersebut adalah : 1. Ki Gagak Singalaga ( Ki Gatot Singalaga )
2. Ki Angga Paksa
3. Ki Angga Raksa
4. Ki Kokol
5. Ki Jala Rawa ( Ki Sekar Sari )
6. Nyi Godong Lamaranti ( disebut si Nyai ) Ketika Mbah Kuwu Cerbon mengetahui bahwa daerah sebelah timur ada sebuah pedukuhan yang masih menganut agama Sanghiang, maka ia bersama pengikutnya mendatangi Pagedangan untuk menyampaikan agama Islam. Kedatangan Mbah Kuwu Cerbon diterima dengan baik oleh Ki Malewang, yang kemudian ia beserta para pengikutnya masuk agama Islam dengan tulus. Untuk menambah keyakinannya, Ki Malewang bersama pengikutnya mengangkat sumpah di depan Mbah Kuwu Cerbon sebagai bukti kesetiaannya memeluk agama Islam. Pada waktu sumpah itu dilaksanakan , tiba-tiba langit menjadi gelap tertutup mendung dan halilintar yang sangat dahsyat menyambar tubuh Ki Malewang. Suara menggelegar : “ Bleduuug” (di daerah itu disebut Bledug). Tubuh Ki Malewang tetap tegar, tidak bergetar dan tidak berubah. Sejak kejadian itu Ki Malewang mendapat gelar “ Ki Bledug Jaya”. Pada tahun 1479 Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Susuhunan di Caruban Larang, beliau memperluas Keraton Pakungwati dan akan mendirikan Masjid Agung Sang Ciptarasa. Karena memerlukan kayu jati yang baik dan kuat, maka Sinuhun menugaskan Ki Bledug untuk mencarikan kayu jati yang baik. Bersama dengan para pengikutnya Ki Bledug jaya menebang kayu di bulak kasub (daerah dukuh jeruk – Brebes) dan mengirimkannya ke Cirebon. Kelebihan dan sisa-sisa dari kayu yang dibawa ke Cerbon oleh
Ki Bledug Jaya dan para pengikutnya Balai yang besar. Balai (Bale) besar itu digunakan untuk tempat bermusyawarah dalam rangka penyebaran agama Islam. Dala di balai itu juga Mbah Kuwu Cerbon memimpin dan mengatur cara penyebaran agama Islam. Balai itu lebih dikenal dengan sebutan Bale Kambang Ranjang. Ranjang (Bale Kambang) itu mempunyai enam buah tiang penyangga, hal ini dimaksudkan untuk mengenang jasa keenam pengikutnya yaitu : ki Gagak Sigalaga, Ki Angga Paksa, Ki Angga Raksa, Ki Kokol, Ki Jalak Rawa, dan Nyi Godong Lamaranti. Bale Kambang ini selain tempat musyawarah juga digunakan oleh Ki Bledug Jaya untuk mengambil sumpah orang-orang yang baru masuk agama Islam agar tidak kembali ke agama Sanghiang.
Ki Bledug Jaya/Ki Malewang/Raden Layang Kemuning wafat di Cirebon. Dan atas jasanya dalam penyebaran agama Islam beliau dimakamkan di Asatana Gunung Jati Blok Ganggong Pamungkuran.