Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai
utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang
terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan
nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh
menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng
Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari
luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk
setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan
terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di
lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara
Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari
daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan
Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi
Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang
sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya
yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di
sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan
Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh
menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari
Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon
dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di
ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa
kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara,
tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan
kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana
telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya
kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan
kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena
bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil
setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal
berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar
Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan
Cirebon
.
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di
Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi
tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda
pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta
Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap
1 Syawal untuk
dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan
singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (
cicit
dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati
pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama
Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar
Panembahan Pakungwati I.
Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti
Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada
tahun 1549 dalam
Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh
nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati
yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman
dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan
keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu
itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan
berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan
seperti hukuman
cambuk. Di sebelah barat
Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para
wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar —
sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya.
Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di
sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya
merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di
daerah
pesisir. Bahkan sampai sekarang, model
ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di
depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya
terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut
Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para
punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut
pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut
Pancaniti yang merupakan tempat para
perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan
tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama
Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah
lemah duwur
yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang
tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan
ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan
Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi
empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang
dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif
bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama
Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama
Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat
Candra Sakala dengan tulisan
Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun
1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok
bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan
sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks
Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari
Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks
Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan
fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang
Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman
dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang
melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat
sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan
ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan
bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang
melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat
Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang
merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah
mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat
pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih
digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini
hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan.
Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini
berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti
Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti
Inggil ini.
KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan
Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali
didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan
Cirebon pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan
memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya.
Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah
kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini terletak di
selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat
alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah
bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke
arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat
disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta
benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu
berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini
melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam kepemimpinannya
tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang
berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada
masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon.
Hal ini menunjukan betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon
dalam membangun ekonomi pada masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton
Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan
panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di
Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman,
Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung
Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa
Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih
berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih
taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan
tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam
leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini
berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas
yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman
merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan
kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan
cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati,
seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih
terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang
dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta,
terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan
sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di
bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti
Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring
porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di
Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah
penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke
utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu
Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul
dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu
ada masjid.
Menengok Koleksi Keraton Kanoman Cirebon.
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan
pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak
tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk
mencapai tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang
menjajakan dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah
menuju keraton. Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual
sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris
tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang,
sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi
pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal
paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang
kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan
utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta,
atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu,
di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton
menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh.
Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan
pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya
berhiaskan piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli
dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman,
pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki
museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang
tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai
dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada
jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta
itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun
1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya
sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon,
yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk
paksi (burung), naga, dan
liman
(gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga
unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa
membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda
dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais
menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati
jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori
penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri
dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga
dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan
kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia
menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari
konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir
museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek
papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan
menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis,
kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat
koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris,
senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat
peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton
Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan
pepakem,
di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul
Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana,
Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan
Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang
menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5
hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi
Sultan Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km
sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan
pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Keraton Kacirebonan.
Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak
menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang
perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton
Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan
dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN KERATON KECERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya
dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini
dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur
estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang
merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah
Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya
berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran
Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan kebudayaan.
Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang
berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau
Ragi berarti jasmani.
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno
yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari
satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.
Tempat Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias,
dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh
dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta
Kencana Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman
Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas
tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di
Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat
sekitar. Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan.
Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya
tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya,
untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta
per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota
(Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi
Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota
Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat
bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan
khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon.
Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,”
ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada
14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon.
Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan
kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon
sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi
persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti
membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa
menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit
saja.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan
mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka
untuk umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat
seorang pemandu, yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama
Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang.
Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk,
dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran.
Keraton berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian
diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi
nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati.
Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat.
Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian
nama dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton
Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya.
Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton
Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah
istana. Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan
tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang
berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa
Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal,
terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat
pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang
bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh
seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem
Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem
Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan
bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di
ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan
porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya
Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan
peralatan di Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara
tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari
kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan
putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara
keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap
keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai
di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang
tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para
Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan
yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman
untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam
area keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi
kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana
Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita
tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota
menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di
keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh
tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk,
maka ia keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau
hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton
Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi,
sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral
tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan Keraton
Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi permaisuri,
dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini
sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki
ruang pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu
berjam-jam untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong
yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda
pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar
sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas
terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat
penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan
gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum,
yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat
Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan
di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur
Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong
diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa
Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta
yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad
Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya
pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya
dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara India, kepala
naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang berarti
bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat
pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta
ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air
nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut
bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip
Purwaka Caruban Nagari,
didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703.
Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni
Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan
lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat
bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di
taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke
Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong
bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif
ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua
Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya
Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada pemerintah.
Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai
utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang
terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan
nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh
menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng
Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari
luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk
setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan
terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di
lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara
Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari
daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan
Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi
Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang
sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya
yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di
sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan
Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh
menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari
Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon
dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di
ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa
kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara,
tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan
kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana
telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya
kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan
kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena
bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil
setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal
berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar
Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan
Cirebon
.
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di
Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi
tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda
pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta
Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap
1 Syawal untuk
dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan
singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (
cicit
dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati
pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama
Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar
Panembahan Pakungwati I.
Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti
Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada
tahun 1549 dalam
Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh
nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati
yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman
dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan
keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu
itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan
berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan
seperti hukuman
cambuk. Di sebelah barat
Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para
wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar —
sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya.
Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di
sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya
merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di
daerah
pesisir. Bahkan sampai sekarang, model
ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di
depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya
terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut
Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para
punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut
pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut
Pancaniti yang merupakan tempat para
perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan
tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama
Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah
lemah duwur
yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang
tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan
ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan
Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi
empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang
dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif
bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama
Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama
Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat
Candra Sakala dengan tulisan
Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun
1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok
bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan
sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks
Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari
Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks
Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan
fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang
Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman
dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang
melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat
sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan
ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan
bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang
melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat
Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang
merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah
mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat
pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih
digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini
hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan.
Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini
berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti
Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti
Inggil ini.
KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan
Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali
didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan
Cirebon pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan
memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya.
Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah
kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini terletak di
selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat
alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah
bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke
arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat
disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta
benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu
berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini
melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam kepemimpinannya
tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang
berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada
masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon.
Hal ini menunjukan betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon
dalam membangun ekonomi pada masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton
Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan
panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di
Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman,
Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung
Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa
Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih
berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih
taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan
tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam
leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini
berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas
yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman
merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan
kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan
cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati,
seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih
terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang
dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta,
terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan
sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di
bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti
Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring
porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di
Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah
penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke
utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu
Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul
dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu
ada masjid.
Menengok Koleksi Keraton Kanoman Cirebon.
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan
pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak
tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk
mencapai tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang
menjajakan dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah
menuju keraton. Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual
sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris
tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang,
sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi
pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal
paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang
kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan
utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta,
atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu,
di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton
menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh.
Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan
pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya
berhiaskan piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli
dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman,
pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki
museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang
tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai
dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada
jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta
itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun
1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya
sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon,
yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk
paksi (burung), naga, dan
liman
(gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga
unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa
membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda
dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais
menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati
jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori
penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri
dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga
dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan
kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia
menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari
konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir
museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek
papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan
menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis,
kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat
koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris,
senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat
peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton
Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan
pepakem,
di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul
Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana,
Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan
Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang
menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5
hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi
Sultan Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km
sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan
pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Keraton Kacirebonan.
Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak
menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang
perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton
Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan
dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN KERATON KECERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya
dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini
dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur
estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang
merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah
Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya
berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran
Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan kebudayaan.
Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang
berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau
Ragi berarti jasmani.
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno
yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari
satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.
Tempat Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias,
dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh
dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta
Kencana Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman
Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas
tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di
Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat
sekitar. Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan.
Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya
tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya,
untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta
per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota
(Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi
Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota
Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat
bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan
khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon.
Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,”
ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada
14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon.
Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan
kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon
sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi
persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti
membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa
menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit
saja.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan
mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka
untuk umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat
seorang pemandu, yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama
Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang.
Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk,
dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran.
Keraton berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian
diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi
nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati.
Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat.
Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian
nama dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton
Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya.
Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton
Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah
istana. Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan
tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang
berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa
Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal,
terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat
pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang
bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh
seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem
Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem
Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan
bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di
ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan
porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya
Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan
peralatan di Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara
tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari
kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan
putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara
keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap
keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai
di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang
tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para
Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan
yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman
untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam
area keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi
kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana
Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita
tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota
menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di
keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh
tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk,
maka ia keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau
hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton
Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi,
sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral
tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan Keraton
Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi permaisuri,
dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini
sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki
ruang pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu
berjam-jam untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong
yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda
pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar
sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas
terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat
penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan
gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum,
yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat
Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan
di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur
Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong
diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa
Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta
yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad
Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya
pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya
dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara India, kepala
naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang berarti
bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat
pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta
ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air
nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut
bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip
Purwaka Caruban Nagari,
didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703.
Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni
Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan
lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat
bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di
taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke
Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong
bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif
ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua
Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya
Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada pemerintah.v